Senin, 30 April 2012

“Selamat meneruskan mimpi kawan, Hasta La Vista!”


Sebelum matahari memperlihatkan wajahnya, kami telah terbangun dari lelapnya istirahat malam. Ya! Pagi itu kami harus bergegas pergi memperjuangkan mimpi-mimpi kami dalam sebuah acara “Tarakanitas”. Ada perasaan senang, bangga, ceria, karena setelah melalui perjuangan cukup berat kami dapat melepaskan putih-biru kami dan menggunakan putih-abu, terlebih kotak-kotak yang merupakan ciri khas dari salah satu acara bergengsi di Indonesia, yaitu “Tarakanitas”. Namun perasaan cemas, khawatir, takut, juga menghantui kami, karena kami harus memulai langkah baru dengan seluruh lingkup dan orang-orang baru, terlebih saat orang lain diluar sana mengatakan: Tarakanitas seniyouritas.
Awal menginjakkan kaki
Tiba dilokasi melihat gedung yang didominasi warna biru itu kami masih sangat terlihat lugu. Rambut yang harus dikuncir dan tidak boleh berponi, rok yang harus dibawah lutut, kemeja longgar yang seharusnya digunakan oleh pria, kaos kaki panjang, dan sepatu pantofel atau kets hitam/putih, serta keharusan menyapa seluruh pelatih dan tingkatan diatas kami. Namun kami tetap berusaha tegar dan bunyi tanda masuk itupun terdengar. Entah ini berkah atau musibah bagi kami, kami dipanggil satu persatu untuk memasuki ruang yang bertuliskan E1. Akhirnya babak baru dimulai disana bersama 33 orang wanita tangguh dan akan menjalani masa karantina selama 3 tahun!
                Tingkat Pertama
Dibimbing oleh Ibu Dewi yang sangat-sangat keibuan dengan celoteh ibu: “Semangat!!!” setiap Ia memasuki ruangan kami #terimakasihIbu. Diketuai Cynthia, wanita cantik, tubuh semampai, yang selalu takut apabila ada sedikit saja jerawat diwajahnya ataupun terlihat jelek difoto, dan didampingi oleh Monic yang membuat kami takut karena teriak-teriakan omelannya, kami ber-33 menjalani hari-hari berat  untuk menyesuaikan diri satu sama lain. Yang sangat terlihat berbeda adalah wanita setengah laki bernama Meydi dan wanita sedikit banyak bisa dibilang centil bernama Firsta yang selalu membuat kami diam tanpa kata karena setiap hari ada saja tingkatan diatas kami yang menjenguknya ke ruangan kami. Setengah tahun berjalan, pembimbing kami Ibu Dewi Dharatinggi #eh Dewi Dharawati tidak puas atas kepemimpinan Cynthia karena kami selalu mendapat kecaman dari seluruh pembimbing kami dan dikenal dengan ruang yang diam-diam plongo, akhirnya Chynthia digantikan oleh Priska gadis pencintai korea yang pintar subject matimati-an. Namun tidak ada perubahan yang signifikan, kami tetaplah diam bila para pelatih kami mengajarkan sesuatu. Mungkin Dewi Soniya inilah yang sangat diingat oleh pelatih kami. Satu-satunya diantara kami yang menangis bila dipaksa untuk maju. Atau Tessa yang selalu diam bila ditanya. Ya akhirnya babak eliminasi hampir tiba, dan kami sedikit cemas karena teman kami Edna sakit dan harus dioperasi yang mengakibatkan Ia jarang masuk karantina. Saat laporan eliminasi tiba, kami harus kehilangan teman-teman kami: Meydi, Firsta, Dewi, Tessa, dan Edna. Maaf teman, kami harus melanjutkan perjuangan kami ditingkat selanjutnya J
                Tingkat Kedua
Tingkat ini boleh dibilang tingkat yang kami rasakan paling lama. Pembimbing kami adalah Ibu Titin yang paling kami benci (benar-benar cinta) karena dibalik semuanya kami mengerti Ia ingin kami menjadi yang terbaik diantara yang lain #terimakasihIbu. Diketuai oleh Christina wanita yang pandai dan disenangi oleh pelatih-pelatih kami tak urung menjadikan kelas kami kompak dalam proses karantina. Cercaan, masalah, dan caci pelatih kami selalu terjadi. Disaat-saat seperti itulah hadir Stella dengan rayuan-rayuannya selalu membujuk para pembimbing kami untuk mengasihani kami, Maria yang sangat cemas bila ada pembimbing yang tidak mau mengajar kami, Prizzy yang tekun belajar meski pembimbing tidak masuk ruangan, Tiffany yang tak gentar berusaha untuk mendapatkan nilai baik, ataupun Asti yang selalu diam ada atupun tidak ada pembimbing. Banyaknya masalah dan julukan-julukan jelek yang kami terima, mungkin membuat Ibu Titin geram. Ia menunjuk begitu saja Gaby yang lumayan ditakuti diruangan E1 karena terkenal dengan kejutekannya untuk menggantikan posisi Christina. Gaby yang didampingi Lina, wanita yang selalu mengatakan: Bapak saya bertatto itu membawa E1 menjadi ruangan yang cukup berwarna karena masalah :D. Disaat-saat itulah mulai pendukung pergerakan kompak-E1 yaitu Netta yang tidak dapat hidup tanpa kacanya, Ningrum yang selalu mengekspresikan dirinya dengan teriakan atau nyanyian tidak jelas, Shelly yang rela rambut panjangnya dipotong untuk membawa nama “Tarakanitas”, Astrid yang sangat lebay jika mendengar brawijaya, Agra Ira yang selalu selaw dengan keadaannya maupun sekitarnya. Disaat muncul pendukung pergerakan kompak E1, adapula yang kadang pendukung kadang tidak (maklum labil), seperti Ratih yang sangat cocok bergabung dengan girlsband Cherybelek, Rossy yang sedikit lambat berfikir namun tetap pede, Neri yang diam-diam menghanyutkan, Shinta yang setiap pagi sibuk menggenggam handphonenya untuk menelpon, Ika yang dikenal manja dan galau namun menjadi pemandangan indah bila Ia sedang berjalan. Setelah melewati proses yang cukup lama, babak eliminasipun tiba. Dan kami harus kehilangan Debora wanita yang perjalanan hidupnya patut diacungi jempol dan Monic serta menjalalani masa-masa praktik selama 3 bulan ditempat yang berbeda-beda, yang membuat kami rindu akan suasana ruang E1 J
                Tingkat Ketiga
Pada tingkat akhir ini kami tersisa hanya 26 orang, namun entah mengapa ada 1 orang yang memasuki ruang kami tanpa ijin yaitu Vera tapi mungkin karena dia sangat cerewet ruangan kamipun terbawa olehnya sehingga tidak pernah lagi terdengar E1 diam-diam plongo. Dibimbing oleh seorang Bapak bernama Sugiyatno yang ganteng baik hati dan tidak sombong itu kami menjalani tingkat akhir dengan gembira walau banyak beban yang harus kami jalani. Khususnya untuk Gita si wanita berambut shampo dan Sylviana si wanita berpenampilan lelaki yang sama-sama sering terlambat memasuki ruangan E1, yang bisa sedikit demi sedikit menjalin komunikasi yang baik lagi. Dipimpin oleh Addel yang eksis plus pandai bermain alat music dan si pemunggut cukai yang bertobat menjadi pendeta bernama Yenny, kami dapat terlihat kompak satu sama lain dan saling membantu. Terutama Novi yang terkenal dengan rotinya yang tidak pernah lelah mengajarkan Tere si wanita kecil-kecil menyebalkan untuk berhasil dalam penentuan akhir nanti J
Akhir menginjakkan kaki
Tak terasa karantina di “Tarakanitas” akan segera berakhir. Segala suka duka, untung malang, berkah musibah kami dalam ruang E1 akan hanya menjadi kisah indah yang tak dapat terulang yang pasti selalu kami rindukan. Untungnya kami sudah menyimpan banyak kisah yang pasti dapat kami ceritakan saat kami bertemu diluar nanti, ataupun kisah yang dapat kami banggakan pada anak cucu kami kelak. Oya, kamipun sepakat untuk tidak mencari pemenang dalam acara ini, karena sesunggunya kisah kebersamaan kami inilah yang terpenting daripada penghargaan, piala, atau apapun, dan kami ber-27 adalah pemenangnya, terbaik diantara yang terbaik. Kami juga mengubah “Tarakanitas menjadi Tarakanita’s” karena sekarang kami merasa memiliki Tarakanita dan ajaran-ajarannya akan selalu kami ingat serta terapkan. Kisah perjuangan kami di Tarakanita harus berakhir dengan indah, namun mimpi kami tidak berenti sampai disini. Selamat meneruskan mimpi kawan! Bila kami tak dapat bertemu secara tatap wajah kelak, bawa saja kami selalu dalam doamu, karena sesugguhnya perjumpaan yang paling hangat adalah didalam doa.


Salam Hasta La Vista (blue jacket) J