Sebelum
matahari memperlihatkan wajahnya, kami telah terbangun dari lelapnya istirahat
malam. Ya! Pagi itu kami harus bergegas pergi memperjuangkan mimpi-mimpi kami
dalam sebuah acara “Tarakanitas”. Ada perasaan senang, bangga, ceria, karena
setelah melalui perjuangan cukup berat kami dapat melepaskan putih-biru kami
dan menggunakan putih-abu, terlebih kotak-kotak yang merupakan ciri khas dari
salah satu acara bergengsi di Indonesia, yaitu “Tarakanitas”. Namun perasaan cemas,
khawatir, takut, juga menghantui kami, karena kami harus memulai langkah baru
dengan seluruh lingkup dan orang-orang baru, terlebih saat orang lain diluar
sana mengatakan: Tarakanitas seniyouritas.
Awal menginjakkan kaki
Tiba dilokasi melihat gedung yang
didominasi warna biru itu kami masih sangat terlihat lugu. Rambut yang harus
dikuncir dan tidak boleh berponi, rok yang harus dibawah lutut, kemeja longgar
yang seharusnya digunakan oleh pria, kaos kaki panjang, dan sepatu pantofel atau
kets hitam/putih, serta keharusan menyapa seluruh pelatih dan tingkatan diatas
kami. Namun kami tetap berusaha tegar dan bunyi tanda masuk itupun terdengar.
Entah ini berkah atau musibah bagi kami, kami dipanggil satu persatu untuk
memasuki ruang yang bertuliskan E1. Akhirnya babak baru dimulai disana bersama
33 orang wanita tangguh dan akan menjalani masa karantina selama 3 tahun!
Tingkat Pertama
Dibimbing oleh Ibu Dewi yang sangat-sangat keibuan
dengan celoteh ibu: “Semangat!!!” setiap Ia memasuki ruangan kami
#terimakasihIbu. Diketuai Cynthia,
wanita cantik, tubuh semampai, yang selalu takut apabila ada sedikit saja
jerawat diwajahnya ataupun terlihat jelek difoto, dan didampingi oleh Monic yang membuat kami takut karena
teriak-teriakan omelannya, kami ber-33 menjalani hari-hari berat untuk menyesuaikan diri satu sama lain. Yang
sangat terlihat berbeda adalah wanita setengah laki bernama Meydi dan wanita sedikit banyak bisa
dibilang centil bernama Firsta yang
selalu membuat kami diam tanpa kata karena setiap hari ada saja tingkatan
diatas kami yang menjenguknya ke ruangan kami. Setengah tahun berjalan,
pembimbing kami Ibu Dewi Dharatinggi #eh
Dewi Dharawati tidak puas atas kepemimpinan Cynthia karena kami selalu mendapat
kecaman dari seluruh pembimbing kami dan dikenal dengan ruang yang diam-diam plongo, akhirnya Chynthia
digantikan oleh Priska gadis
pencintai korea yang pintar subject
matimati-an. Namun tidak ada perubahan yang signifikan, kami tetaplah diam
bila para pelatih kami mengajarkan sesuatu. Mungkin Dewi Soniya inilah yang sangat diingat oleh pelatih kami.
Satu-satunya diantara kami yang menangis bila dipaksa untuk maju. Atau Tessa yang selalu diam bila ditanya. Ya
akhirnya babak eliminasi hampir tiba, dan kami sedikit cemas karena teman kami Edna sakit dan harus dioperasi yang
mengakibatkan Ia jarang masuk karantina. Saat laporan eliminasi tiba, kami
harus kehilangan teman-teman kami: Meydi, Firsta, Dewi, Tessa, dan Edna. Maaf
teman, kami harus melanjutkan perjuangan kami ditingkat selanjutnya J
Tingkat Kedua
Tingkat ini boleh dibilang
tingkat yang kami rasakan paling lama. Pembimbing kami adalah Ibu Titin yang paling kami benci
(benar-benar cinta) karena dibalik semuanya kami mengerti Ia ingin kami menjadi
yang terbaik diantara yang lain #terimakasihIbu. Diketuai oleh Christina wanita yang pandai dan
disenangi oleh pelatih-pelatih kami tak urung menjadikan kelas kami kompak
dalam proses karantina. Cercaan, masalah, dan caci pelatih kami selalu terjadi.
Disaat-saat seperti itulah hadir Stella
dengan rayuan-rayuannya selalu membujuk para pembimbing kami untuk mengasihani
kami, Maria yang sangat cemas bila
ada pembimbing yang tidak mau mengajar kami, Prizzy yang tekun belajar meski pembimbing tidak masuk ruangan, Tiffany yang tak gentar berusaha untuk
mendapatkan nilai baik, ataupun Asti
yang selalu diam ada atupun tidak ada pembimbing. Banyaknya masalah dan
julukan-julukan jelek yang kami terima, mungkin membuat Ibu Titin geram. Ia
menunjuk begitu saja Gaby yang
lumayan ditakuti diruangan E1 karena terkenal dengan kejutekannya untuk
menggantikan posisi Christina. Gaby yang didampingi Lina, wanita yang selalu mengatakan: Bapak saya bertatto itu
membawa E1 menjadi ruangan yang cukup berwarna karena masalah :D. Disaat-saat itulah
mulai pendukung pergerakan kompak-E1 yaitu Netta
yang tidak dapat hidup tanpa kacanya, Ningrum
yang selalu mengekspresikan dirinya dengan teriakan atau nyanyian tidak
jelas, Shelly yang rela rambut
panjangnya dipotong untuk membawa nama “Tarakanitas”, Astrid yang sangat lebay jika mendengar brawijaya, Agra Ira yang selalu selaw dengan
keadaannya maupun sekitarnya. Disaat muncul pendukung pergerakan kompak E1,
adapula yang kadang pendukung kadang tidak (maklum labil), seperti Ratih yang sangat cocok bergabung
dengan girlsband Cherybelek, Rossy
yang sedikit lambat berfikir namun tetap pede, Neri yang diam-diam menghanyutkan, Shinta yang setiap pagi sibuk menggenggam handphonenya untuk
menelpon, Ika yang dikenal manja dan
galau namun menjadi pemandangan indah bila Ia sedang berjalan. Setelah melewati
proses yang cukup lama, babak eliminasipun tiba. Dan kami harus kehilangan Debora wanita yang perjalanan hidupnya
patut diacungi jempol dan Monic serta menjalalani masa-masa praktik selama 3
bulan ditempat yang berbeda-beda, yang membuat kami rindu akan suasana ruang E1
J
Tingkat Ketiga
Pada tingkat akhir ini kami
tersisa hanya 26 orang, namun entah mengapa ada 1 orang yang memasuki ruang
kami tanpa ijin yaitu Vera tapi
mungkin karena dia sangat cerewet ruangan kamipun terbawa olehnya sehingga
tidak pernah lagi terdengar E1 diam-diam
plongo. Dibimbing oleh seorang Bapak
bernama Sugiyatno yang ganteng baik hati dan tidak sombong itu kami
menjalani tingkat akhir dengan gembira walau banyak beban yang harus kami
jalani. Khususnya untuk Gita si
wanita berambut shampo dan Sylviana
si wanita berpenampilan lelaki yang sama-sama sering terlambat memasuki ruangan
E1, yang bisa sedikit demi sedikit menjalin komunikasi yang baik lagi. Dipimpin
oleh Addel yang eksis plus pandai
bermain alat music dan si pemunggut cukai yang bertobat menjadi pendeta bernama
Yenny, kami dapat terlihat kompak
satu sama lain dan saling membantu. Terutama Novi yang terkenal dengan rotinya
yang tidak pernah lelah mengajarkan Tere
si wanita kecil-kecil menyebalkan untuk berhasil dalam penentuan akhir nanti J
Akhir menginjakkan kaki
Tak terasa karantina di
“Tarakanitas” akan segera berakhir. Segala suka duka, untung malang, berkah
musibah kami dalam ruang E1 akan hanya menjadi kisah indah yang tak dapat
terulang yang pasti selalu kami rindukan. Untungnya kami sudah menyimpan banyak
kisah yang pasti dapat kami ceritakan saat kami bertemu diluar nanti, ataupun
kisah yang dapat kami banggakan pada anak cucu kami kelak. Oya, kamipun sepakat
untuk tidak mencari pemenang dalam acara ini, karena sesunggunya kisah
kebersamaan kami inilah yang terpenting daripada penghargaan, piala, atau
apapun, dan kami ber-27 adalah pemenangnya, terbaik diantara yang terbaik. Kami
juga mengubah “Tarakanitas menjadi Tarakanita’s” karena sekarang kami merasa
memiliki Tarakanita dan ajaran-ajarannya akan selalu kami ingat serta terapkan.
Kisah perjuangan kami di Tarakanita harus berakhir dengan indah, namun mimpi
kami tidak berenti sampai disini. Selamat meneruskan mimpi kawan! Bila kami tak
dapat bertemu secara tatap wajah kelak, bawa saja kami selalu dalam doamu, karena
sesugguhnya perjumpaan yang paling hangat adalah didalam doa.
Salam Hasta La Vista (blue jacket) J
![]() |
Tidak ada komentar:
Posting Komentar